Partisipasi Perempuan Dalam Ranah Politik



oleh : nita nurliza manullang 

Opini - Sebagai seorang perempuan. seorang perempuan tidak luput dari stigma ataupun anggapan-anggapan serta standard yang dibuat oleh sosialnya sendiri. 


Posisi laki laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan dan perlakuan seperti ini banyak disimpulkan bahwa perempuan adalah manusia kelas dua. 


Dalam bidang politik sendiri, presentasi keterwakilan perempuan masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan presentasi laki-laki. 


Kedudukan perempuan dalam ranah politik merupakan isu yang kompleks dan terus berkembang. Meskipun telah terjadi kemajuan dalam beberapa aspek, masih terdapat berbagai tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati. 


Dalam beberapa dekade terakhir, perempuan telah berhasil memasuki arena politik di berbagai negara, namun proporsi perempuan di dalam lembaga-lembaga politik masih seringkali jauh dari proporsi laki-laki.


Tantangan pertama yang dihadapi perempuan dalam politik adalah ketidaksetaraan akses terhadap peluang politik. 


Stereotip gender dan norma sosial seringkali menghalangi perempuan untuk memasuki dunia politik, dan bias gender dapat ditemui dalam pemilihan, kampanye, dan proses pengambilan keputusan politik. 


Pemberian dukungan finansial dan akses terhadap pendidikan politik juga menjadi faktor penting dalam mendorong partisipasi perempuan dalam politik.


Peran media juga memiliki dampak besar terhadap kedudukan perempuan dalam politik. 


Representasi perempuan dalam media cenderung terpaku pada citra tradisional atau stereotip yang tidak selalu mencerminkan kemampuan dan potensi mereka sebagai pemimpin. 


Oleh karena itu, mendukung narasi yang lebih inklusif dan positif terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan politik dapat membantu mengubah persepsi masyarakat terhadap perempuan di politik.


Untuk meningkatkan kapasitas keterwakilan perempuan di kursi parlemen, pemerintah beserta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menentukan bahwa untuk meningkatkan presentasi keterwakilan perempuan di parlemen ditetapkan sebesar 30%. 


Keterlibatan perempuan dalam berkiprah di dunia politik dari waktu ke waktu terus mengalami presentasi yang meningkat. 


Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di badan legislatif, terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) pada 1999 hingga Pemilu terakhir pada tahun 2019. 


Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara lain disebabkan oleh kondisi budaya patriaki yang tidak diimbangi kemudahan akses dalam bantuk tindakan afirmatif bagi perempuan, seperti pemberian kuota. 


GBHN, dan berbagai instrumen politik dan hukum tidak secara eksplisit menunjukkan diskriminasi terhadap perempuan namun tidak pula memberikan pembelaan dan kemudahan bagi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik. 


Undang-Undang Dasar 1945, Bab X, Ayat 27 menyatakan bahwa “Semua warganegara adalah sama di hadapan hukum dan pemerintah,” sedangkan Ayat 28 menjamin “Kebebasan berkumpul dan berserikat, dan kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tertulis.” 


Sekalipun demikian, dalam kondisi yang patriaki, perempuan menghadapi beberapa kendala untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki dalam berbagai bidang.


Selain itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. 


*Faktor pertama* , berhubungan dengan konteks budaya yang ada di Indonesia masih sangat kental dengan asas budaya patriarkinya. Persepsi yang masih ada di nalar masyarakat adalah bahwa dunia politik adalah untuk laki-laki, dan tidaklah pantas bagi perempuan untuk terlibat menjadi anggota parlemen. 


Dalam konteks budaya patriarki, cenderung menempatkan laki laki-dalam posisi dominan dan memberikan perempuan peran yang lebih rendah dalam hierarki sosial. 


 *Faktor kedua* , berhubungan dengan proses seleksi yang ada dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. 


Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. 


Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. 


*Faktor ketiga* , berhubungan dengan media massa yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi keterwakilan perempuan dalam parlemen.


Dalam hal ini perlu adanya strategi advokasi terkait partisipasi perempuan dalam ranah politik. 


Advokasi yang dimaksud tentunya bersifat terencana dan sistematis yang memiliki tujuan untuk memperbaiki atau mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak yang menginginkan adanya perubahan. 


Adapun strategi advokasi yang bisa kita lakukan terkait keterlibatan perempuan dalam ranah politik adalah :

1. Menentukan isu strategi suatu masalah

2. Mengumpulkan data

3. Membentuk aliansi dengan organisasi berkepentingan sama

4. Melemparkan isu dan kampanye massa

5. Melakukan lobi dan pendekatan dengan pengambilan keputusan

6. Melakukan komunikasi yang baik dengan media massa

7. Demonstrasi

8. Melakukan evaluasi


Advokasi kebijakan perlu terus disuarakan agar dapat menutupi lubang kesenjangan gender sekaligus memberi peluang yang lebih lebar bagi perempuan berkiprah di dunia politik. 


Keterlibatan perempuan dalam ranah politik adalah suatu hal yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Kualitas perempuan bukan hanya dilihat dari segi domestik tetapi dari berbagai banyak aspek seperti terjun ke ranah politik. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama